Sabtu, 27 Juli 2013

Darren Jeffian: "I Want and I Can"

Darren Jeffian
Mungkin Anda sudah familiar dengan tag lineI Believe I Can Fly?” Ya, tag line ini sangat luar biasa menggugah semangat orang untuk mendapatkan apa yang diimpikannya. Bagaimana kalau tag lineI Want and I Can?”.

Banyak orang yang mempunyai keinginan, misalnya ingin bisa bermain gitar, ingin mempunyai mobil dan berbagai keinginan lainnya. Namun keinginan itu akan menjadi kenyataan jika Anda bisa mewujudkannya. Tag lineI Want and I Can” tersebut telah dibuktikan oleh Darren Jeffian.

Kisahnya demikian. November 2011, sekolahnya, SMP Dian Harapan, kedatangan panitia penyelenggara beasiswa ke Singapura. Mereka memberikan presentasi  dan meminta pihak sekolah memilih anak-anak yang menonjol sebagai nominasi untuk mendapatkan bea siswa tersebut. Darren terpilih sebagai salah satunya. Penyelenggara tersebut melakukan road show ke beberapa kota besar dan sekolah-sekolah favorit untuk menjaring siswa SMP kelas 3 yang berprestasi.

Darren ternyata sangat antusias untuk mendapatkannya. Itu menjadi keinginannya ( I Want). Langkah apa yang dilakukannya? Darren melakukan perubahan 180 derajat. Langkah pertama adalah menyingkirkan televisi dari kamarnya, dan menontonnya pada sabtu malam saja. Selanjutnya ia membuat resolusi, menulisnya di empat lembar kertas dan menempelnya di dinding kamarnya. Resolusinya antara lain: saya harus mendapatkan beasiswa tersebut, saya berjanji akan lebih keras belajar, mengurangi waktu bermain internet yang tidak berguna, menjadi lebih disiplin dalam mengelola waktu, dan masih banyak lagi.

Bahkan ia juga membuat gambaran rencananya ke depan, seperti target yang mau diraih dalam satu bulan, dua bulan, satu tahun bahkan sampai sepuluh tahun kedepan. Dia juga membuat tulisan-tulisan yang memotivasi dirinya untuk terus belajar dan mempunyai tujuan untuk lulus ujian penerimaan bea siswa. Tulisan tersebut berjumlah 100 dan setiap hari di sobek 1 lembar (count down). Tak lupa Darren membuat mind mapping semua rencananya. Darren tahu bahwa dengan dia sering melihatnya maka sasaran-sasarannya akan masuk ke dalam alam bawah sadarnya dan ini akan terus mendorong dia untuk segera merealisasikannya. Perjuangan dan komitmennya patut dikagumi. Darren benar-benar belajar dan belajar, serta sangat disiplin dengan waktu. Darren memiliki sikap alertness. Dia rencanakan apa yang akan dilakukan dan melakukan apa yang direncanakan agar siap dan sigap ketika kesempatan itu muncul.

Pada usianya yang masih belia, Darren sadar tidak ada kesuksesan yang dapat diraih tanpa kerja keras. Ada “harga mahal” yang harus dia bayar, berupa pengorbanan, rasa tidak nyaman, dan lain-lain. Namun, Darren percaya dengan semangat “I Want and I Can”. Perjuangannya akhirnya membuahkan hasil manis. Pada tanggal 13 Pebruari 2012, dari sekitar 600 yang mengikuti test, hanya 25 orang yang berhasil meraih impiannya. Dan salah satunya adalah Darren (I Can). Jadi rumus I Want and I Can sangat memacu Darren untuk melakukan yang terbaik. Selain kerja keras, faktor doa juga sangat diperlukan, karena semua keberhasilannya merupakan ijin dan anugerah dari Tuhan.

Darren Jeffian tahu yang apa yang harus dilakukan untuk mencapai sasarannya. Darren adalah Sang Pemenang.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Minggu, 21 Juli 2013

Maxi Adhika: "Not to be scared of the unknown, not to be scared of change"

Maxi (depan berkaca mata)
Maxi punya passion yang luar biasa terhadap apa yang dilakukannya. Ini bisa dilihat dari ekspresi wajah dan matanya saat berbincang mengenai dunia yang digelutinya saat ini. Sebuah pilihan yang lahir dari jiwanya. Memasak, passion dan profesi yang sungguh dicintainya.

Restoran Union, yang berlokasi di wilayah elit Plaza Senayan adalah bukti sukses yang diraih Maxi dalam usianya yang masih muda. Pada jam makan siang dan makan malam, tampak antrian panjang menanti meja-meja yang sudah dipesan untuk menikmati sajian menu-menu pilihan dari Maxi dan istrinya, Karen. Jangan harap mendapatkan meja bila tidak melakukan reservasi terlebih dahulu di restoran ini. Maxi juga sering dijumpai di berbagai rumah para selebriti, sosialita dan kalangan bisnis kelas atas di Jakarta. Dia adalah private chef bagi kliennya yang ingin menikmati menu-menu pilihan Maxi secara personal atau untuk entertaintment bagi para tamu kliennya.

Ternyata, sang Oma adalah sumber inspirasi Maxi. Sang Oma pandai memasak makanan hokkien, bahkan tanpa resep sama sekali. Masakannya hanya berdasarkan rasa, mata dan penciuman. “Pengalaman bersama Oma sangat membantu saya menyelami dunia memasak ini”, ujar Maxi. Maxi mengaku tidak terlalu berprestasi di sekolah, tetapi lebih senang melewati waktunya di tempat spesial bernama dapur. Saat usia 15 tahun, Maxi tinggal di Perth, Australia bersama ibu dan kedua adiknya. Maxi tak segan bekerja sebagai pencuci piring di restoran. Pekerjaan itu sungguh menyenangkan bagi dia, karena dia dapat menyaksikan bagaimana sebuah dapur restoran beroperasi, mulai dari Chef yang berteriak sambil menata makanan hingga menikmati suara gemericik fillet mignon yang di-grill. Maxi bahkan punya kesempatan mencicipi makanan lezat yang tak bakal mampu dinikmati oleh seorang anak sekolah. Maxi juga pernah menjadi pelayan dan food runner di berbagai restoran. Semuanya ini ternyata merupakan pengalaman yang sungguh menyenangkan untuk dirinya. “That was fun too, as you get to meet girls”, katanya sambil tertawa.

Setelah menyelesaikan high-school-nya, Maxi melanjutkan studinya ke jurusan bisnis di University of Curtin. Di tahun pertamanya kuliah, insting telah menariknya untuk menekuni dunia memasak yang sudah menjadi passion-nya.  Ternyata keluarganya juga sangat mendukung keinginan Maxi. “Walau keluarga memberikan dukungan sepenuhnya pada saya untuk menentukan pilihan, tetap ada pertentangan dan nasehat-nasehat yang diberikan kepada saya”, ungkap Maxi sambil mengingat masa-masa itu. Maka setelah menyelesaikan studinya di University of Curtin dan tinggal 6 tahun di Perth dengan kehidupan yang tenang, Maxi mengambil langkah untuk sebuah perubahan dalam hidupnya. New York di Amerika Serikat (AS) adalah salah satu kota di dunia yang memiliki banyak restoran dengan bintang Michelin di dunia. Di tahun 2006, sederet Chef terkenal bercokol di New York dengan restoran berbintang Michelinnya seperti Gordon Ramsay, Alain Ducasse, Erick Ripert dan Daniel Bouloud. 

Saat itu saya adalah seorang anak muda yang siap meraih mimpi bintang Michelin. Maka saya memutuskan New York adalah tujuan saya”, kata Maxi. Maxi mendaftar di French Culinary Institute. Bersekolah di New York bukan perkara ringan. “Tantangan paling besar adalah finansial dan kompetisi yang luar biasa berat. New York, AS, dipenuhi para cook muda yang lebih baik dan lebih berpengalaman, yang bekerja di restoran-restoran bagus dan terkenal”, jelas Maxi. Luar biasa mahal biaya untuk bisa hidup di Manhattan, ungkap Maxi mengenai pengalaman hidupnya disana. “Saya dapat pinjaman dari ayah untuk biaya sekolah, tapi untuk hidup saya harus mencarinya sendiri, tuturnya. Hotdog adalah makan malam saya, karena harganya paling murah. Terkadang Mini Mart Korea atau China Town menjadi tujuan saya mencari makanan karena budget yang terbatas. Tapi justru pengalaman bergaul dengan berbagai budaya ini sungguh menarik bagi saya, tuturnya melanjutkan. Kadang-kadang saya bekerja di perusahaan katering di timur atau selatan Hampston. Saya hampir tak pernah melihat para super rich berlibur di New York, saya tenggelam di dalam dapur melepas oyster dari cangkangnya dan menyendoki caviar untuk para miliunner”, ujar Maxi.

Maxi menyelesaikan sekolah professional cooking-nya dalam waktu enam bulan. Suatu hari, saat ia menikmati santap siang di restoran Asiate di puncak Mandarin Oriental yang menghadap ke Central Park, Chef Nori Sugi keluar dan menyapanya. Kepada Chef Nori, Maxi mengungkapkan lezatnya makanan Jepang modern yang di-twist ala Perancis klasik yang disajikan di restoran itu.  Ternyata dari perbincangan ini, Maxi mendapatkan kesempatan untuk bekerja dan belajar dengan Chef Nori di Asiate. Kemudian, Chef Nori merekomendasikan Maxi kepada Sous Chef Markus Glocker dari Maze, sebuah restoran yang dimiliki oleh Chef Gordon Ramsay. Tak disangka-sangka, suatu hari Markus Glocker menghubungi Maxi dan menerimanya untuk bekerja di Maze di bawah Chef Andy Cook.
“Itu suatu hal yang luar biasa. Saya langsung menghubungi ayah untuk memberitahukan kabar gembira itu. Inilah titik yang akan mengubah hidup saya”, kata Maxi.

Gordon Ramsay adalah pemandu acara televisi terkenal Master Chef, dan memiliki sejumlah restoran berbintang Michelin di berbagai kota besar di dunia. Kesempatan yang luar biasa datang menghampiri Maxi. Namun, perjalanannya bukanlah hal yang mudah. Tantangan terbesar bekerja di restoran Michelin bintang dua ini adalah fokus dan kompetisi yang berat diantara para cook muda. “Saya baru selesai sekolah, dibandingkan dengan rekan-rekan yang lain, pengalaman saya masih tertinggal jauh. Terus terang, saya membuat banyak kesalahan. Tetapi, saya tak punya pilihan lain  kecuali terus melangkah, merendahkan hati, terus belajar dan tetap berusaha memasak yang terbaik”, ungkapnya bagaimana melewati waktu-waktu sulitnya.

Maxi kemudian bekerja selama dua tahun di Restoran Gordon Ramsay di London Hotel, New York, di bawah Head Chef Josh Emmet, pertama sebagai commis atau chef dan kedua sebagai chef of partie. Selama dua tahun, restoran ini berhasil mempertahankan dua bintang Michelin yang diraihnya. “Itu sebuah sebuah pengalaman yang tak bisa dibeli dengan uang dan merupakan masa yang paling sulit dalam hidup saya”, kata Maxi. Di Restoran Gordon Ramsay, para chef dituntut untuk profesional dengan passion yang luar biasa untuk menghidangkan sajian makanan dengan kualitas terbaik. Para chef dituntut memiliki disiplin yang tinggi dan harus datang di tempat kerja 15 menit sebelum waktunya. Tidak ada basa-basi saat bekerja disana. Setiap hari Maxi memasak, memperbaiki makanan yang dihasilkan, memastikan hanya makanan terbaik yang tersaji, dan pada saat yang sama membersihkan dapur serta menghadapi tekanan-tekanan yang luar biasa berat di depan stove panas. Ingat, orang-orang membayar mahal untuk makan disini, itu selalu diucapkan oleh Head Chef Josh Emmet, ujar Maxi. Jadi tidak boleh ada satu kesalahan kecil pun”. Setiap proses harus memenuhi standar kualitas dengan teknik memasak yang juga tingkat tinggi. Ukuran potongan brokoli untuk dihias di atas scallop harus sempurna. Adonan tepung harus memiliki tekstur yang tepat agar makanan memiliki kegaringan yang tepat. Saus juga harus memiliki kilau yang tepat dan sentuhan akhir yang tepat dengan acid

Chef Table di Restoran Gordon Ramsay adalah area private dengan meja marmer tepat di depan dapur dimana para tamu bisa mendengar teriakan dan omelan para chef sambil memasak.   Para tamu ini duduk tepat ditengah aksi masak-memasak. Tamu-tamu restoran ini membayar mahal, sekitar USD 1600 untuk 8 orang. Para chef diberikan kesempatan untuk berinteraksi dan menjelaskan makanan yang dihidangkan kepada tamu-tamu yang berada di Chef Table. “Saya bertemu dengan orang-orang terkenal, seperti Bruce Springsteen, Woody Allen, Ricky Gervais, dan Daniel Boulout, ujar Maxi. Bertemu dengan mereka membangun kepercayaan diri saya. Saya memperkenalkan nama saya pada mereka dan menjelaskan makanan yang disajikan. Itu sesuatu yang luar biasa. Bayangkan pengalaman ini mulai dari terseduh panci panas, dimaki karena melakukan kesalahan sampai harus menyapa tamu-tamu yang baru saja menyaksikan sendiri saya dimaki di hadapan mereka”, ungkap Maxi sambil tertawa.

Tuntutan kesempurnaan dan tekanan yang tinggi menyebabkan Maxi mengalami kelelahan yang luar biasa. Dia merasa menjadi chef yang paling sering dimarahi, diomeli karena paling banyak membuat kesalahan. Makian dan teriakan ini adalah bagian dari dinamika dapur Restoran Gordon Ramsay, seperti yang kita saksikan di program televisi Master Chef. “Kesalahan itu tidak murah bila kita memasak lobster atau bagian terbaik dari daging kambing. Tidak boleh ada celah untuk kesalahan. Setiap kesalahan yang dibuat berarti tamu harus menunggu lebih lama karena makanan yang tidak sempurna”, jelas Maxi.

Tahun 2009 setelah krisis Wall Street, Gordon Ramsay memutuskan untuk menutup beberapa restorannya karena bisnis yang menurun. “Saya punya pilihan untuk tetap tinggal disana sebagai chef de partie atau memulai petualangan baru. Akhirnya saya memutuskan untuk memulai sebuah petualangan baru”, kata Maxi.

Maxi (paling kanan) bersama temannya
Setelah bekerja keras selama tiga tahun di New York, AS dan berbekal uang USD 5000 dia memutuskan untuk ke Tokyo di pertengahan tahun 2009. Maxi mengikuti teman-teman baiknya yang mendapatkan visa liburan sambil bekerja di Jepang. “Saya bosan dengan fine dining dan tuntutan akan kesempurnaan tingkat tinggi. Saya ingin menyajikan makanan simpel yang lezat dan memiliki nilai tradisi yang panjang. Jepang tempat yang tepat. Disini dapat ditemui ramen jalanan yang sungguh lezat, yakitory joint dan izakaya yang menyajikan makanan simpel dan nikmat”, cerita Maxi. 

Selama di Jepang, Maxi berkelana ke Osaka, Tokyo dan Kyoto. Dia belajar teknik memasak makanan jalanan seperti okonomiyaki, takoyaki dan juga belajar mengenai budaya hidangan kaiseki.

“Apa yang saya lakukan hanya makan dan minum serta mencari jalan agar dapat bekerja dan belajar langsung dari orang-orang Jepang pemilik restoran itu. Karena tidak memiliki visa bekerja, saya mencuci piring sambil belajar memasak makanan yang segar dengan baik”, tambahnya.

Maxi berkesempatan bekerja selama seminggu di yakitori joint di Osaka. Pemiliknya pergi ke pasar setiap pagi, menyiapkan bumbu di siang hari dan membuka restorannya pada malam hari.  Istrinya membantu menuangkan bir dan anaknya mengambil pesanan makanan. Restoran kecil ini hanya bisa menampung 20 orang, tetapi tempat ini penuh setiap malam. Pemilik restoran ini sudah menjalani yakitori joint ini selama 30 tahun terakhir. “Dari situ saya memetik pelajaran bahwa hidup adalah belajar setiap harinya. Setelah lebih dari 30 tahun pemilik restoran ini masih menyiapkan yakitori dengan penuh dedikasi. Sikapnya yang mencintai apa yang dilakukan adalah hal yang sangat menarik buat saya. Di tengah situasi dimana bisnis berkembang dengan pesat diiringi denyut kehidupan perkotaan yang cepat, masih banyak orang-orang Jepang tetap melakukan tradisi yang sudah mereka lakukan bertahun-tahun, dan senantiasa menjaga kualitas makanan. Itu adalah amazing experience buat saya”, ungkap Maxi.

Maxi kehabisan uang, dan memutuskan untuk pulang ke Jakarta. Saat itu ia masih berumur 24 tahun. Maxi berpikir untuk mencari pekerjaan di kapal pesiar keliling Eropa dan menjadi chef di Eropa. Tetapi, ternyata ada jalan lain yang telah disiapkan untuknya di Jakarta. Semula, Maxi ingin mendirikan restorannya sendiri. Namun, dia belum siap secara mental dan finansial. Maxi juga tidak terlalu mengenal Jakarta. “Saya mendapat kesempatan memasak untuk sebuah keluarga di rumahnya di bilangan Sunter.   Pekerjaan saya yang pertama untuk menyediakan private dining untuk keluarga yang sangat mengapresiasi makanan dan ingin menikmati menu sajian Gordon Ramsay di rumah mereka”, cerita Maxi. Maka ia langsung membeli piring dan perlengkapan dapur, serta meminta tante-nya untuk membantu melayani saat ia menyiapkan menu dan makanan dari rumah ke rumah. “Saya menjadi private chef dan menyajikan 6 menu makan malam kepada siapa saja yang ingin entertainment di rumah pribadi mereka. Pengalaman ini mengajarkan saya bahwa orang-orang Jakarta memiliki selera yang tinggi dan sangat menikmati wine and dine”, kata Maxi. Kesulitan Maxi adalah kualitas bumbu dan kuantitas bahan seperti; sea urchins, scallop, bahan lain seperti yang ia butuhkan saat memasak di Gordon Ramsay atau Osaka yang tidak tersedia di Jakarta. Kalaupun bahan-bahan itu ada tapi kualitasnya tidak terlalu baik.

Suatu hari di akhir tahun 2009, Maxi berkenalan dengan Karen Carlotta, yang saat itu adalah pastry chef yang baru kembali ke Jakarta dari Paris, dan tidak tahu apa yang akan dilakukannya di Jakarta. Karen menjadi rekan kerja Maxi, dan sejak saat itu bisnis private dining mereka berjalan lancar. Maxi tidak melihat kebelakang lagi. Dia menikmati dunia yang ditekuninya, menyiapkan sajian menu-menu lezat pilihannya sambil menghibur para klien dan tamunya. Maxi memasak di rumah-rumah mewah, hotel hingga lokasi-lokasi indah lainnya. “Saya merasa sangat beruntung”, kata Maxi. Akhirnya Maxi menikahi Karen pada bulan Juni 2011. “Saya menyadari tidak banyak wanita seperti Karen yang sangat passionate dengan apa yang dikerjakannya. Hubungan saya dengan Karen berkembang pelan seiring dengan waktu, dengan kerja keras dan kesempatan yang hadir di hadapan kami. Kami bepergian ke luar negeri dan menikmati kebahagiaan yang sederhana, menikmati berbagai makanan yang lezat. Saya dan Karen saling respek, menghargai kerja keras dan saling mendukung satu sama lain”, ungkap Maxi.

Suatu ketika, oleh temannya Maxi dipertemukan dengan pemiliki bistro Loewy, yang menjadi tempat hang-out favorit di Jakarta, yang akhirnya menjadi partnernya di Restoran Union. Union menyediakan makanan Amerika klasik, dengan sentuhan Maxi dan Karen. Proyek itu memakan waktu dua tahun. Maxi dan Karen pergi beberapa kali ke New York, AS untuk mencicipi makanan dan belajar membuat classic bread. Akhirnya Restoran Union dibuka pada bulan July 2011, dan dengan cepat menjadi tempat dining dan hang-out favorit di Jakarta.

Union adalah tempat dimana semua orang bisa menikmati makanan Maxi. Maxi meminta para chef-nya untuk memasak berdasarkan rasa, mata dan penciuman, sebagaimana teknik yang dia dapatkan dari sang Oma. Semuanya tanpa resep. Makanan yang disajikan adalah makanan sederhana namun dimasak dengan baik. Menunya mulai dari grilled fillet mignon yang sederhana, dengan fresh salad dan saus yang lezat dari beef bone. “Semua menu di Union adalah dari apa yang saya pelajari dari awal di Singapore, Perth, New York dan Osaka”, ungkap Maxi.

Perjalanan hidupnya yang penuh tantangan, kerja keras namun juga penuh pengalaman yang tak ternilai. Maxi menyampaikan satu hal yang dipelajarinya, yaitu ‘not to be scared of the unknown, not to be scared of change’. Jangan pernah takut pada hal-hal yang tidak kita ketahui dalam perjalanan hidup kita, dan jangan pernah takut akan perubahan. “Saya menjadi lebih kreatif bila saya tidak berada di comfort zone. Enjoy life, seperti mereka yang tinggal di Perth atau Osaka, denyut kehidupan yang lebih pelan adalah kunci kebahagiaan”, ungkapnya di akhir pembicaraan.

Maxi telah melewati masa-masa sulit karena antusiasme yang tinggi kepada bidang yang sangat dia sukai, yaitu bidang masak memasak. Maxi adalah Sang Pemenang. Dan perjalanan Sang Pemenang adalah perjalanan tak berujung hingga Tuhan memanggil pulang. Mimpi Maxi kini adalah membesarkan Kai, putranya agar dapat memberikan pengaruh yang positif pada dunia, dan membawa Karen keliling dunia. Ia masih ingin membuka beberapa restoran kecil lagi dan juga memberikan adik-adik buat Kai.

Salam Pemenang!

Catatan
  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesian edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.    

Minggu, 07 Juli 2013

Giokniwati: Memanfaatkan Talenta Secara Optimal

Giokniwati (tengah) bersama James Gwee (kanan)
Giokniwati, bersama sang suami, Tjantana Jusman adalah “sepasang Ayam Jantan dan Ayam Betina di dunia training”. Mungkin sangat langka sepasang suami istri yang sama-sama menjadi trainer dengan materi yang sama, alumni yang sama, dan sama-sama pernah menulis buku bersama dengan James Gwee. Perjalanan karirnya yang luar biasa, sampai berani “membakar kapalnya” telah menjadikan sosok ibu seorang anak ini sebagai salah satu Associate Trainer James Gwee yang handal. Sikapnya yang rendah hati, ceria dan penuh semangat sangat tepat untuk profesinya. Inilah perjalanan Sang Pemenang, Giokniwati.
 
Giokniwati lahir pada tanggal 19 September 1973. “Saya tidak dilahirkan di rumah sakit, tetapi di sebuah rumah sederhana dari rahim seorang wanita sederhana. Dan sesungguhnya kelahiran saya adalah “bonus” dari Sang Pencipta, mengingat saya adalah anak ke-enam yang tidak direncanakan kehadirannya”, ungkap Giokni. “Rumah sederhana di Kecamatan Ulujami, Kabupaten Pemalang, perbatasan dengan Kabupaten Pekalongan, adalah nama lokasi yang pasti tidak dituliskan di peta Jawa Tengah. Bahkan, durasi dengan menyetir mobil antara tulisan di tugu ‘Selamat Datang’ dan tugu ‘Selamat Jalan’ cukup lima menit saja. Jadi, dapat dibayangkan betapa kecilnya daerah bernama Ulujami yang ada di perlintasan pantura”, ujarnya.

“Namun…. saya bahagia! Ternyata mama saya yang sepertinya sederhana, adalah wanita hebat, yang saya kagumi dan menjadi inspirasi buat saya”, tutur Giokni. “Betul… bahwa dia hanya bersekolah hingga setara SD di sekolah Belanda, namun wawasan dan kesadaran terhadap pentingnya pendidikan membuat dia selalu bekerja keras untuk mengupayakan kami bersekolah, pula.. tidak menyurutkan pendapatnya yang kontra dengan tetangga kanan, kiri, depan rumah yang selalu bilang ‘percuma cah wedok disekolahke duwur-duwur… nek wes kawen yo mlebu dapur othok’, yang artinya ‘percuma anak perempuan bersekolah tinggi karena setelah menikah hanya akan berkutat di dapur saja’, jelasnya.

“Papa saya pun punya prinsip yang sama, dia sadar bahwa sekolah penting, walaupun dia pun hanya bersekolah setara SD di sekolah Mandarin dan menopang ekonomi keluarga dengan sebuah mobil Colt L300 yang dijadikan angkutan umum dan sesekali menjadi sopir ketika sopir kami  tidak masuk. Setiap liburan sekolah, papa akan membawa saya ke rumah adiknya di Semarang untuk berlibur sekaligus memboyong majalah bekas saat kembali ke rumah”, tutur Giokni.

“Nilai-nilai yang dihidupi oleh keluarga kami adalah KEJUJURAN, KERJA KERAS dan BELAJAR. Ada nasihat yang sangat spesifik yang saya ingat dari mama khusus bagi kelima anak perempuannya: ‘Jangan pernah menjadi isteri kedua, jangan pernah dinikahi orang tanpa surat kawin. Wanita juga harus punya kemandirian sehingga selalu siap ketika dibutuhkan untuk menopang suami”, lanjutnya lagi.

Masa sekolah dasar Giokni dihabiskan di SD Negeri Inpres. Namun, dia bersyukur karena sering diajak ke toko buku di Pekalongan, sehingga dia bisa membeli buku-buku di luar kurikulum ‘minimalis’ sebuah SD Inpres. Selepas SD, orangtuanya sudah merasa perlu melepas Giokni lebih jauh dari rumah. Giokni bersekolah di SMP Pius Kodya Pekalongan, 15 km dari Ulujami. Transportasi sehari-hari menggunakan angkutan umum baik mobil maupun bis AKAP (Antar Kota Antar Propinsi), dimana penumpang harus berjubelan berdiri sampai pintu tidak bisa ditutup. Masih sangat membekas dalam ingatan Giokni, ketika masa Operasi Lantas Zebra tahun 1986 yang membuat semua angkutan tidak beroperasi, sehingga dia harus menyetop dan menumpang truk-truk yang lewat yang tidak dia kenal. “Tapi rasanya saya tidak mengeluh secara berlebihan, saya merasakan serunya sebuah petualangan, walaupun sempat diopname karena typhus yang diakibatkan terlalu capai. Dan itulah contoh KERJA KERAS yang kami hidupi”, ungkap Giokni.

Giokni melanjutkan sekolah ke SMA Negeri 1 Pekalongan. “Masa-masa menyenangkan yang penuh kenangan di sekolah menengah atas terbaik di Kodya saat itu”, kenang Giokni. Kemudian dengan susah payah orang tua dan kakak laki-lakinya mengupayakan Giokni kuliah di jurusan Akuntansi Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) YKPN di Yogyakarta. “Yogyakarta menjadi pilihan utama karena biaya hidup di kota ini masih terjangkau oleh kemampuan kami”, katanya melanjutnya ceritanya.

“Saya aktif di kegiatan-kegiatan sekolah dan gereja, menulis dan membaca puisi adalah salah satu hobby saya. Sejak kelas dua SMP saya sudah terlibat dalam pelayanan mengajar anak-anak di Sekolah Minggu, lalu sharing di sesi-sesi pemuda dan remaja. Kecintaan mengajar ini terbawa hingga kuliah—sebagai Asisten Dosen—mengajar di Training Center di tempat kerja dan sekarang sebagai PROFESI!!”, tutur Giokni.

Selepas kuliah dengan predikat Magna Cum-Laude, Giokni masuk bekerja di Bank Central Asia (BCA). “BCA adalah perusahaan pertama yang mengasah dan membuat saya kaya ilmu, keterampilan, dan mental”, ujarnya. “Melalui program Management Development Program (MDP) di tahun 1995, yaitu sebuah program yang komprehensif selama setahun yang membekali dengan berbagai ilmu dan pelatihan yang terstruktur. BCA adalah sekolah buat saya dimana ketika radar-radar pembelajaran kita aktifkan, maka segudang pengalaman kita peroleh. Dan kuncinya hanya satu: Maukah kita BELAJAR dan maukah kita BEKERJA KERAS?”, ujarnya.

Setelah setahun digembleng melalui program MDP, Giokni ditempatkan di Divisi Audit Internal dengan posisi awal sebagai Auditor Operation yang melakukan audit ke cabang-cabang BCA, baik di Jakarta maupun luar Jakarta. Penggemblengan tahap kedua adalah pekerjaan, yang cukup membutuhkan ketangguhan baik dalam menghadapi auditee maupun ketua tim (in-charge). “Wajah dan kalimat berintonasi ketus ketua tim saat pekerjaan tidak sempurna seakan menyempurnakan perjuangan dan mental saya”, jelasnya. “Namun banyak pula coach-coach yang melatih dan mengembangkan saya. Dalam periode itu saya belajar tentang DETAIL, ANALISIS, sekaligus KONSEPTUAL, dan KEMAMPUAN BERINTERAKSI DENGAN ORANG”, tutur Giokni.  

Saya suka mengobservasi dan menarik learning points, termasuk pemimpin-pemimpin di atas saya. Saya amati dan ambil aspek positif untuk dibuat model kepemimpinin yang paling efektif. Demikian pula dengan observasi atas diri saya sendiri; saya menemukan kekuatan dalam CONCEPTUAL dan ANALYTICAL THINKING, CREATIVITY, dan PUBLIC SPEAKING”, tuturnya.

Setelah tujuh tahun di Divisi Audit Internal, Giokni mengeksplorasi diri di Divisi Consumer Banking. Dia bertanggung jawab-pada Aspek Peningkatan Layanan Nasabah dan Layanan Nasabah Prioritas. “Itulah fase saya belajar banyak tentang LEADERSHIP dan TANGGUNG JAWAB. Saya menyerap banyak ilmu dari kepemimpinan Ibu Lanny Budiati dan Bapak Santoso Liem. Bagi saya mereka berdua sangat INSPIRATIF!”, Giokni memuji inspiratornya.

“Sebuah prinsip yang semakin saya yakini dan jalani adalah “EXTRA MILES”. Saya masih ingat pesan Pak San tentang ‘bikin gajimu tidak pantas’, yang artinya ‘jangan hitung-hitungan, apa yang bisa kalian lakukan, lakukanlah dan lakukan lebih’. Jangan hanya dibatasi oleh target di atas kertas”, kenangnya.

“Petuah itu saya hidupi hingga saya berpindah kerja ke perusahaan lain. Bahkan hingga saat ini dan selalu nasehat beliau saya bawa di kelas-kelas training saya”, tutur Giokni. “Hubungan saya dengan atasan sangat baik, bahkan untuk urusan resign pun, saya minta pertimbangan. Saya meninggalkan BCA bukan karena BCA buruk atau kinerja saya yang buruk, seperti saya telah sebutkan bahwa BCA adalah sekolah saya, dan saya merasa sudah saatnya saya ‘meluluskan diri’ agar bisa BERMANFAAT LEBIH di tempat lain”, tuturnya menjelaskan alasannya keluar dari BCA.

“Banyak tantangan yang menarik di perusahaan baru-food retailer Delhaize Group Belgia yang berbendera Super Indo di Indonesia. Perubahan sangat drastis saya alami, dari aspek industrinya (di banking saya menjual produk investasi dan di sini saya menjual cabe dan bawang merah, hehehe) hingga lokasi kantor yang semula di bilangan segitiga emas di jalan Jendral Sudirman kemudian menyingkir ke kawasan kumuh Ancol di ujung Jakarta Utara”, kenangnya. “Namun, saya sangat bersyukur untuk mile-stone yang selalu saya jejaki karena selalu membawa kebaikan dan pembelajaran”, lanjutnya.

“Dengan posisi di strategic level, maka saya punya wewenang untuk mengambil inisiatif dan mengeksekusi program baru sesuai best practices yang ada. Dengan INTERPERSONAL SKILL yang saya miliki, saya cukup mulus beradaptasi dengan jajaran manajemen lama. Saya berperan di area Organizational Development (OD) yang meliputi Recruitment-Training-Pengembangan SDM dan Organisasi”, jelas Giokni mengenai tanggungjawabnya di tempat baru. “Salah satu program yang signifikan diakui membawa dampak positif adalah di area People Development seperti Talent Pool Program, karena orang yang berkinerja bagus semakin merasa dihargai dan adanya fairness karena minimalisasi subyektivitas. Iklim dalam organisasi bergairah seperti juga halnya semakin hangat dan cerianya suasana tempat kerja. Aktivitas-aktivitas yang memperkokoh esprit de corps saya inisiasikan”, jelas Giokni.

“Melalui Vice President Ibu Melanie Darmosetio dan President Dirk Van Den Berghe saya mendapat kesempatan yang berharga untuk belajar tentang best practices OD di sister company di Belgia maupun di Yunani. Dukungan mereka jugalah yang memantapkan peran saya dalam mengembangkan SDM dan semakin mengonfirmasi tentang PASSION saya di bidang PEOPLE DEVELOPMENT!”, tuturnya. “Bukan hanya karir yang baik yang menjadi kenangan saya di Super Indo, namun proses pembentukan Tim OD menjadi tim yang solid, yang selalu bahu membahu dan setiap individu punya semangat tinggi untuk memberi yang terbaik-itulah masa-masa menantang sekaligus menggairahkan”, kenang Giokni.                

Saat ini Giokni tiba pada mile-stone berikutnya, yaitu Full Time mengikuti PASSION sebagai SPEAKER, TRAINER, COACH. Perkenalan dengan James Gwee terjadi di tahun 2002. Berawal dari keberaniannya mengungkapkan mimpi “Saya ingin menjadi pembicara seperti Pak James” di acara on-air radio PAS FM. “Akhirnya beliau menjadi MENTOR saya”, tutur Giokni.  “Sikap rendah hati dan low profile serta mau berbagi saya temui pada seorang James Gwee-Indonesia’s Favourite Trainer”, ujarnya menyampaikan pandangannya mengenai sosok James Gwee. “Hingga saat ini saya menjadi James Gwee’s Certified Trainer untuk program “Grab Your Audience!”-public speaking & presentation skill dan sebagai James Gwee’s Associate Trainer. Saya mengembangkan dan mengajar materi-materi customer service excellence, komunikasi, presentasi, supervisory, dan lain-lain”, tuturnya lagi.

Selama kurun waktu 2,5 tahun bersama James Gwee, Giokni telah melayani lebih dari lima puluh client dari berbagai industry, seperti banking dan lembaga keuangan, farmasi, automotif, manufaktur, retailer, dan sebagainya dengan jumlah audiens lebih dari 4.000 orang. “Dan kebanyakan dari client melakukan repeat order. Apa yang membuatnya demikian? Saya sangat mempercayai bahwa PASSION drives EXCELLENCE. Dan saya selalu mengupayakan DO EXTRA MILE. Mengapa saya lakukan itu? Karena saya tahu bahwa Tuhan menciptakan saya dengan sebuah tujuan yaitu untuk BERMANFAAT bagi orang lain melalui TALENTA yang DIA berikan. Dan saya tidak akan menolak bahkan akan melakukan TERBAIK yang BISA saya LAKUKAN. Saya semakin mantap dan yakin panggilan hidup dan tempat terbaik bagi saya adalah ketika para coachee menjadi lebih baik atau mereka memenangkan kompetisi-kompetisi yang diikuti. Air mata bahagia saya mengalir dan saya ikut bersyukur”, tutur Giokni secara panjang lebar.

Giokni (kanan) bersama suami dan putrinya
Gioniwati adalah Sang Pemenang, yang menjalani kehidupan dan karirnya dengan antusiasme tinggi. Antusiasme yang menjadi sumber energi untuk terus belajar dan belajar. “Demikianlah sekelumit tentang saya-GIOKNIWATI-manusia yang masih terus belajar. Hidup bersama suami yang selalu setia dan mendukung-TJANTANA JUSMAN-yang tanpa seizinnya saya tidak mungkin melangkah sejauh ini. Bahkan dia pun saat ini terjun bersama saya untuk memberdayakan orang-orang melalui kelas-kelas training  maupun coaching. Gaya kami berdua saat di kelas adalah ANTUSIAS karena kami menyadari bahwa ada kebesaran TUHAN dalam hidup kami. Seorang puteri kami-JOANNA SHADDAI JUSMAN-titipan Tuhan yang kami syukuri, sekaligus ‘sekolah’ yang membuat kami senantiasa belajar. Bukankah hidup adalah belajar, jangan sampai kita kehilangan semangat untuk belajar”, ujar Sang Pemenang menutup penuturannya dengan senyuman manis.


Salam Pemenang!

Catatan

  • Kisah di atas adalah 1 dari 30 kisah dalam buku “ANGEL & DEMON: 30 Kisah Inspiratif Sang Pemenang”, yang merupakan hasil kolaborasi saya bersama dua sahabat, Timoteus Talip dan Helena Abidin. Temukan kisah-kisah lainnya dalam buku “ANGEL & DEMON”, yang telah menjadi National Best Seller dan dapat ditemukan di Gramedia dan Gunung Agung atau di amazon.com (search “ANGEL & DEMON Indonesia edition”).
  • Terima kasih Anda sudah menyempatkan waktu membaca artikel ini. Jika Anda merasa artikel ini bermanfaat silahkan berbagi dengan keluarga dan teman Anda, atau berikan komentar pada kotak yang telah disediakan.
  • Bila Anda ingin secara otomatis mendapat artikel-artikel terbaru dari blog ini di email Anda, silahkan klik “Join this site” pada bagian kanan atas tampilan blog.